PADA era Orde Lama politik dianggap panglima, yang pada masa Orde Baru berubah menjadi kekuasaan adalah panglima ditambah variabel ekonomi sebagai pemanis. Setelah bangkitnya Orde Reformasi, muncul istilah supremasi hukum untuk menghindari penggunaan istilah hukum sebagai panglima.
Politik dan hukum di Indonesia terus bergulat berebut posisi, sementara kedua pilar demokrasi itu bertujuan sama, demi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang diamanatkan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Orla dan Orba adalah romantika, dinamika dan dialektika sejarah. Realitas hari ini, menurut Mahfud MD pergulatan hukum dan politik makin seru. Masih terus berebut posisi kunci.
Prof. Dr. Ikhlasul Amal menyebutnya seperti pemeo atau teka-teki ayam dan telor, yang menyebabkan Prof. Dr. Mahfud MD senantiasa gelisah mencari jawabannya.
Pada akhirnya, Mahfud MD selaku pakar hukum tata negara harus mengambil sikap memihak, bahwa hukum adalah supremasi karena hukum adalah produk politik.
Mahfud MD yang menjabat sebagai Pembantu Presiden pada Kabinet Indonesia Maju Jilid II sebagai Menteri Polhukam dalam buku Pergulatan Politik dan Hukum berpendapat, bahwa hukum pada dasarnya adalah produk politik.
Hukum, kata Mahfud, merupakan kristalisasi normatif dan implementasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing, sehingga setiap produk hukum memiliki karakter menurut konfigurasi politik yang melahirkannya.
Menjelang Pemilu serentak 2024, muncul kecenderungan menguatnya pergulatan hukum dan politik berupa gugatan yudisial review UU Cipta Kerja yang oleh MK telah dikeluarkan amar putusan bersyarat, bila tidak direvisi UU Cipta Kerja berpotensi melanggar Konstitusi secara permanen.
Ketegangan makin kuat ketika Pemerintah yang didukung kekuatan politik mengabaikan amar putusan MK.
Berikutnya ada kehendak uji materi Presidential Threshold (PT) ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi ( MK) oleh sejumlah tokoh dan politisi.
Dalam hal ini kekuatan politik bersitegang dengan organ negara seperti MK selaku penyangga hukum.
Amat disayangkan gugatan PT makin riuh, padahal ketentuan ambang batas pencalonan presiden tidak terpikir kemudian tahun 2004 dipatok 20% untuk menjegal salah satu calon yang membahayakan kepentingan parpol tertentu.
Pertanyaannya, Presidensial Threshold bisa direkayasa, mengapa ada kehendak turun jadi 0% dipersulit. Jawabannya cukup jelas, Hukum dan Politik masih terus bersitegang, saling berebut supremasi sebagaimana yang dipikirkan Mahfud MD. (Red)