BERBURU ANGIN DI LADANG CORONA

  • Whatsapp

Idiomatika Jawa acap  terdengar jelas, namun makna di balik ungkapan itu  masih menjadi sebuah rahasia besar.

“Golekana galihing kangkung, susuh angin ngendi nggone.”

Muat Lebih

Terjemahan bebasnya, carilah inti atau teras tumbuhan kangkung, ketika angin (berkah) berhembus, cari di mana tempat dia bersarang.

Ungkapan berbahasa Jawa, narasinya sangat sederhana, namun ketika harus memaknai, sulitnya alang kepalang.

Sama sulitnya ketika harus memaknai Panca Sila dalam situasi genting, dalam hubungannya dengan kecemasan 262 juta jiwa yang sedang gemetar menghadapi pandemi Corona.

Manusia Indonesia memiliki ideologi langit sekaligus bumi, tetapi tidak mampu menerapkannya secara vertikal dan horisontal.

Terbukti orang pada heboh menanggapi penggalan video Achmad Yurianto, soal Si  Kaya dan Si Miskin yang harus saling melindungi.

Ketuhanan Yang Maha Esa, secara hierarkhis piramidal ada di urutan pertama.

Ini pertanda, bahwa segala masalah yang dihadapi dalam hidup berbangsa dan bernegara secara vertikal selalu harus dikembalikan kepada Sang Pencipta: bumi, geni, banyu, angin.

Ketika manusia Indonesia sedang kebentus ing tawang kesandung ing rata  dalam menghadapi pandemi Covid-19,  agar segera ada jalan keluar, maka harus memohon turunnya angin (anugrah ampunan). Yang Muslim mestinya sholat hajat,  yang selain Muslim menyesuaikan keyakinannya.

Dalam sholat hajat, petunjuk (angin ampunan) itu akan nampak melalui jalur horisontal berupa kekayaan prespektif kemanusiaan.

Munculnya hidayah rasa kemanusiaan itu karena rahmat Ilahi semata, karena Dia adalah Sang Maha Pembimbing, Maha Pemberi Petunjuk, dan Maha Pembuka Hati.

Rasa kemanusiaan, berikutnya akan berimbas pada kebersamaan yang menjadi perekat yang paling kuat dalam tataran persatuan (Sila ke 3). Di sini esensi gotong royong terasa, sehingga ucapan jubir Presiden, Achmad Yurianto, dalam prespektif ini tidak ada yang salah. Pihak yang menyalakan Yuri, adalah orang-orang yang tidak paham, bahwa dirinya tidak paham.

Tidak sembarang persatuan tentunya, karena dalam kebersamaan itu selalu ada dinamika, dialektika, juga romantika. Prosesnya dimatangkan di dalam permusyawaratan yang dipimpin oleh seorang derigen orkestra berbingkai NKRI.

Artinya, bahwa dalam mengelelola pandemi Corona, tidak perlu banyak rapat, tetapi seluruh tindakan harus serba cepat dan terpimpin.

Di sini mulai kelihatan, bahwa Indonesia kehilangan pemimpin yang tangkas menyelesaikan masalah Corona karena lupa berburu angin ampunan.

Coba perhatikan  penanganan Corona saat ini, kebijakan pusat dan daerah tidak sinkron dan simpang siur.

Pemimpin yang kuat, tidak harus menggunakan tangan besi. Dengan kelembutan dan kerendahan hati, mestinya sanggup menciptakan keadilan (sils ke 5) untuk 262 juta warga dalam wujud rasa aman, rasa nyaman, jauh dari was-was dan ketakutan. Saat ini faktanya bagaimana?

Mengapa pemimpin kita tidak bisa memberi keadilan dalam wujut rasa aman, rasa nyaman dan rasa tentram? Karena mereka mengaku sebagai berpegang teguh pada ideologi Panca Sila, tetapi mereka gagal menjadi komandan pemburu angin (berkah dan ampunan),  pada masa-masa genting menghadapi serdadu Corona yang datang membabi buta.

Perumpamaannya begini:  para pemimpin Indonesia itu punya 5 baju holistik kultural (lima sila), tetapi baju tersebut tidak dipakai secara konsisten.

Mereka, malah banyak menggerutu. Mereka merasa, bahwa honorarium Rp 100 juta untuk prrsonil BPIP itu kecil.  Barangksali para peminpin negeri ini makin asyik berburu pundi-pundi, yang tak akan pernah dibawa mati.

Padahal, permintaan rakyat saat ini hanya satu: yaitu butuh angin keadilan berupa rasa aman, rasa nyaman,  rasa tenteram, terbebas dari pikiran putus asa, seperti hati para pemudik yang semakin galau lantara mendengar pengumuman soal penundaan pulang ke kampung halaman.

Rakyat, karena pandemi tidak butuh himbauan, tidak butuh pengumuman,, apalagi dongeng indah tentang ibukota baru  yang gemerlap, di Kalimantan.

Mereka butuh angin  segar berupa ampunan dengan bimbing para pemimpin yang cerdas menerapkan lima jiwa yang semua itu  terkandung di dalam ideologi bangsa.

Negara saat ini  banyak duit, alihkan pembangunan infrastruktur untuk menyelamatkan 262 juta nyawa.

Corona itu mengganas, akibat pemilihan strategi pertemanan yang keliru. Cukup keras diperingakan, “Aja cedhak kebo gupak,”   tetapi tak didengar.

Bambang Wahyu Widayadi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *