GUNUNGKIDUL (DIY)-MEDIA ONLINENEWS.ID//Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Dana Keistimewaan (Dais) pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas tata kelola, kebudayaan, dan kesejahteraan masyarakat di tingkat kalurahan. Namun, dalam praktiknya, sejumlah proyek BKK memunculkan pola yang sering dikaitkan dengan proyek titipan dan kepentingan politik keluarga.
Salah satu kasus yang sedang hangat menjadi perbincangan publik adalah pengelolaan BKK Dais di Kalurahan Katongan, Kapanewon Nglipar, Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp1,4 miliar yang dipecah menjadi banyak paket pekerjaan, masing-masing di bawah Rp 200 juta. Meski secara aturan Pergub DIY No. 52/2023 tidak otomatis melanggar ketentuan, fakta bahwa seluruh paket dikelola oleh penyedia yang sama memunculkan tanda tanya.
Terlebih, penyedia yang dimaksud disebut memiliki kedekatan keluarga dengan seorang anggota DPRD. Pola ini menyerupai praktik yang kerap digambarkan publik sebagai “proyek titipan”, proyek yang mengalir kepada pihak tertentu karena jejaring politik, bukan melalui proses pemilihan yang objektif.
Dalam diskursus politik lokal, fenomena di mana jabatan publik dimanfaatkan untuk memberikan akses ekonomi kepada lingkar keluarga sering dikaitkan dengan istilah “cultivation of political dynasty” atau budidaya dinasti politik. Ciri-cirinya tampak dari pola paket pekerjaan diarahkan kepada satu penyedia tanpa kompetisi yang sehat, kedekatan keluarga dengan pejabat menjadi faktor penentu, bukan kapasitas atau track record dan program yang seharusnya memberdayakan masyarakat.
Jika benar terjadi, pola seperti ini menggeser tujuan Dana Keistimewaan, dari memperkuat kebudayaan dan kesejahteraan, menjadi sarana memperkuat otot ekonomi keluarga tertentu.
Penting untuk meluruskan pemahaman publik: melalui Pergub 52/2023, tidak ada batas wajib tender berdasarkan nominal proyek di kalurahan. Artinya, memecah paket menjadi beberapa kegiatan kecil tidak serta merta merupakan pelanggaran. Namun, persoalan muncul ketika pemecahan paket mengarah pada monopoli oleh jaringan keluarga pejabat, tidak ada transparansi dan partisipasi penyedia lokal lain dan swakelola yang semestinya menjadi ruh pemberdayaan justru diabaikan. Dengan kata lain, yang perlu dikritisi bukan teknisnya, tetapi motifnya.
Dalam banyak kasus serupa di Indonesia, proyek titipan biasanya meninggalkan pola yang mirip yaitu penunjukan 1 (satu) rekanan untuk banyak paket, hubungan keluarga dengan pejabat publik, dan tidak membuka peluang bagi warga lokal.
Dana Keistimewaan adalah kepercayaan yang diberikan kepada DIY karena keunikan sejarah dan budaya. Ia akan kehilangan marwahnya jika dikelola dengan pola clientelism: balas jasa politik melalui proyek.
Pemecahan paket mungkin tidak menyalahi Pergub. Tetapi ketika semua paket “jatuh” kepada pihak yang terafiliasi keluarga pejabat politik, publik berhak curiga. Sebab pada titik itu, persoalannya bukan lagi teknis pengadaan, melainkan etika kekuasaan.
BKK Dais tidak boleh menjadi ladang proyek titipan. Ia harus kembali pada misi awal: memperkuat budaya, memberdayakan masyarakat, dan menciptakan keadilan ekonomi di akar rumput.






