JAKARTA – MEDIA ONLINENEWS.ID//Sehari menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-80, publik dikejutkan pengakuan berani Muhammad Fithrat Irfan, aktivis muda nasional. Ia membongkar dugaan praktik suap senyap yang menyeret 95 senator DPD RI dalam pemilihan Wakil Ketua MPR unsur DPD.
Irfan menuding keterlibatan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, hingga sejumlah pejabat partai penguasa. Skandal ini ia sebut sebagai wajah telanjang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengkhianati amanat kemerdekaan.
“Saya harus bongkar semua kebusukan partai penguasa! Demokrasi yang diperjuangkan para pejuang 1945 dirusak segelintir elit. Saya berani bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa, dan saya pertanggungjawabkan di dunia dan akhirat,” ujar Irfan, Minggu (16/8/2025).
Dugaan Transaksi Politik di Toilet Parlemen
Menurut Irfan, pemilihan Wakil Ketua MPR RI unsur DPD dikendalikan Dasco bersama Menkum Supratman demi meloloskan putranya, Abcandra Muhammad Akbar Supratman.
Ia menyebut adanya aliran dana besar berupa dolar Singapura dan dolar AS, yang dibagikan di Gedung Nusantara V, termasuk transaksi di area toilet.
“Semua senator mau dijadikan ‘under Dasco’. Saya melihat sendiri Abcandra menelpon Dasco lewat video call saat transaksi berlangsung,” tegasnya.
Lebih Besar dari Kasus Hasto dan Lembong
Irfan menilai skandal ini lebih besar daripada perkara Hasto Kristiyanto maupun Tom Lembong.
“Hukum hari ini dijadikan alat membungkam kebenaran, menyandera lawan politik, sementara aktivis dikriminalisasi. Saya pun merasakannya,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung persaingan La Nyalla Mattalitti dan Sultan Bachtiar Najamudin dalam perebutan kursi Ketua DPD RI yang sarat intervensi dan kriminalisasi.
Upaya Membungkam dan Ancaman Kriminalisasi
Irfan mengklaim adanya intervensi media, oknum Kemenkum, marinir, hingga perwira tinggi Polri untuk meredam kasus ini.
Namun ia menegaskan:
“Saya tantang Dasco dan Supratman bersumpah di atas Al-Qur’an. Kalau setelah ini saya dikriminalisasi, saya siap berjuang untuk rakyat dan kebenaran.”
Amanat Presiden yang Dikhianati
Pengakuan Irfan memperlihatkan jurang antara amanat Presiden dan realitas elit politik.
Pada 2 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto menegaskan:
“Setiap rupiah dari keringat rakyat harus kembali untuk rakyat. Uang rakyat tidak boleh lagi dikorupsi. Siapa pun pejabat yang masih berani bermain dengan anggaran, sama saja mengkhianati bangsa, mengkhianati Pancasila, dan mengkhianati amanat kemerdekaan 1945.”
Dalam Pidato Kenegaraan Agustus 2025, Presiden kembali menekankan:
“Setia kepada Pancasila berarti setia kepada rakyat. Jangan ada elit yang mengkhianati bangsa dengan menjual amanat rakyat demi kepentingan pribadi. Negara harus hadir, hukum harus tegak, tanpa pandang bulu.”
Namun dugaan suap 95 senator justru memperlihatkan bagaimana amanat Presiden dibajak, dan janji demokrasi dikhianati oleh elit politik yang mestinya menjaga kehormatan lembaga negara.
Landasan Hukum yang Tegas
UUD 1945 Pasal 1 ayat (3): Indonesia adalah negara hukum → kekuasaan tidak boleh menundukkan hukum.
Pasal 22E UUD 1945: Pemilu harus jujur dan adil → suap politik melanggar asas konstitusi.
UU No. 17 Tahun 2014 (MD3): Melarang segala bentuk suap, gratifikasi, atau intervensi dalam pemilihan pimpinan legislatif.
UU Tipikor (UU 31/1999 jo. UU 20/2001):
Pasal 5 & 6: pemberian suap → pidana hingga 5 tahun.
Pasal 12B: gratifikasi tidak dilaporkan dianggap suap → pidana hingga 20 tahun.
Dengan dasar ini, dugaan suap senator bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan tindak pidana korupsi serius yang mengancam fondasi demokrasi.
Tuntutan Konkret
KPK segera membuka penyelidikan resmi, memanggil Dasco, Supratman, dan pihak terkait.
Kejaksaan Agung bersinergi dengan KPK menelusuri aliran dana.
MKD DPR RI dan BK DPD RI memeriksa integritas anggota yang disebut.
Presiden RI menginstruksikan penegakan hukum transparan sesuai amanat 2 Juni dan pidato Agustus.
Gerakan masyarakat sipil, mahasiswa, dan pers mengawal kasus ini agar tidak tenggelam oleh intervensi politik.
Seruan untuk Bangsa
Menutup pernyataannya, Irfan menyerukan agar generasi muda tidak tunduk pada intimidasi:
“Tolong buka mata lebar-lebar. Jangan jadi aktivis bermental tempe. Demokrasi akan mati kalau kalian bungkam. Pers pun jangan kalah oleh uang dan jabatan.”
Dugaan suap 95 senator DPD RI adalah ujian besar bagi negara hukum.
Presiden sudah menggariskan sikap antikorupsi, tetapi jika elit dibiarkan membajak demokrasi, amanat itu hanya akan jadi retorika.
Kini bola ada di tangan KPK, Kejaksaan, MKD, dan Presiden RI: apakah hukum tegak tanpa pandang bulu, atau sekali lagi rakyat dikhianati di panggung republik.(**) Rut