INDONESIA menurut imajinasi tukang kayu merupakan hutan belantara. Penghuninya dianggap primitif yang menurut pandangannya masih gampang diperdaya.
Menurut pikiran tukang kayu, pepohonan yang tumbuh sedemikian lebat itu adalah kekayaan alam peninggalan nenek moyangnya.
Tukang kayu bersuka cita memanen untuk keperluan membuat segala macam perkakas, tetapi tidak punya rasa lain.
Di antara sedemikian banyak tukang kayu yang terus saja melakukan penebangan, tidak akan ditemukan satu orang pun yang sadar melakukan tindakan penanaman ulang.
Mereka merasa, bahwa tugas utama tukang kayu adalah membuat meubel, bukan yang lain.
Ujung-ujungnya, kebijakan tukang kayu banyak diketahui berupa peradaban sentimen main kayu. Suatu saat dia bilang A, di saat yang lain dia melakukan B.
Sebelum lebaran 2021 terjadi di depan hidung. Kelompok tukang kayu diberi hak istimewa, sementara warga yang dianggap primitif haknya dibatasi sedemikian ketat.
Pejabat teras tukang kayu boleh bepergian ke Amerika Serikat, warga biasa mobilitasnya sangat dibatasi.
Arus mudik terjadi penyekatan di mana-mana dengan alasan kesehatan, yaitu menangkal Covid-19, sementara warga asing banjir dibiarkan memasuki negara yang kondang kesuburan hutannya.
Peristiwa terbaru 19 Mei 2021, pegawai negeri sipil didorong dan disarankan melakukan pergerakan sosial menuju dan bekerja di Pulau Dewata.
Beginilah kebijakan Negeri Tukang Kayu yang keblasuk-blasuk, sehingga peraturannya menjadi esuk tempe sore dhele.
Nepotisme tukang kayu itu melebihi Orde Baru. Soeharto memang pernah mengangkat anaknya menjadi Menteri Sosial, meski hanya sekejap. Sementara tukang kayu itu menancapkan dua kaki, satu di Kota Bengawan satunya di Medan.
Sekarang tinggal menunggu kemarahan Semut Ireng. Tidak menyadari bahwa kebijakan yang diambil adalah keliru. Oleh sebab itu dia harus menghadapi bumbung isolasi sosial sebagai pertanda kehancuran kekuasaannya. (Bambang Widayadi)
