DIHIMPUN dari berbagai sumber, tembang Semut Ireng digubah oleh Kanjeng Sunan Kali Jaga. Pilihan kata seperti semut, sapi, kebo, keong, macan, timun, gajah, sidoguri, dan ayam tidak lepas dari hubungan simbolik antara pemimpin yang dzolim dengan rakyat yang marah.
Di Indonesia dua kali terjadi semut Ireng marah kepada pemimpin terutama pada era Soekarno 1965, dan masa Soeharto pada tahun 1998.
Sementara saat tembang Semut Ireng digubah, Nusantara belum bernama Indonesia, dan Jawa Dwipa belum kenal tatanan demokrasi barat.
Mencermati tembang Semut Ireng dari sisi pilihan kata, Kanjeng Sunan Kali Jaga ternyata bukan sebatas seorang Wali, tetapi juga pujangga besar.
Secara umum, tembang Semut Ireng menggambarkan berdiri dan runtuhnya kekuasaan pemimpin oleh kekuatan rakyat yang dahsyat.
Mari kita nikmati Semut Ireng gubahan Kanjeng Sunan Kali Jaga yang hebat itu.
Semut ireng anak-anak sapi. Kok bisa semut melahirkan sapi? Sapi macam apa, jawabannya ada di larik kedua.
Kebo bung kang nyabrang kali begawan. Bung (dari kata rebung), menurut Ki Narto Sabdo adalah Kebo yang tanduknya sebesar Bung alias Andoko atau Banteng.
Jadi terjemahan bebasnya rakyat kecil melahirkan sapi banteng yang sanggup menaklukkan arus bengawan.
Mengapa berani menyeberang? Karena Banteng dikawal oleh sejumlah Keong atau para cerdik pandai, meski kepintarannya tetap berbatas: Keong kang jarak sungute, tulis Kanjeng Sunan Kali Jaga, kala itu.
Larik berikutnya menunjukkan bahwa pemimpin yang hebat itu menggunakan kekuatan alam yang jumlahnya delapan yaitu surya, candra, kartika, imanda, bumi, Geni, banyu angin. Hal itu diperlihatkan dalam kalimat Timun wuku ron wolu.
Pada baris selanjutnya kalimat mulai berbelok. Kata sura dan baya, meminjam pikiran Ki Narto Sabdo tidak ada kaitannya dengan kota di Jawa Timur.
Sura baya geger kepati Geger wong nguyak macan merupakan gambaran rakyat marah karena pemimpinnya tidak amanah.
Oleh sebab itu kalimat berikutnya berbunyi Diwadahi bumbung.
Pemimpin yang diwadahi bumbung (bahasa kerennya dipenjara) merupakan simbol bahwa pemimpin yang banyak tingkah dia di mata rakyat tidak ada harganya.
Lalu, kias Alun-alun Kartasura dan Gajah meta cinancang ing sidoguri menggambarkan episode pemimpin yang tragis karena Pati cinothol ayam.
Dalam tembang Semut Ireng terlihat jelas, Kanjeng Sunan Kali Jaga mengangkat tema sebuah besar. Manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian dikembalikan ke dalam bentuk yang serendah-rendahnya (tanah). Hanya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan yang akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya. (Bambang Widayadi)