GUNUNGKIDUL – Hari Pencegahan Bunuh Diri Internasional, atau (World Suicide Prevention Day) diperingati pada tanggal (10/09/2020) kemarin. Persoalan bunuh diri pun masih menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah lantaran tingginya angka bunuh diri khususnya di Kabupaten Gunungkidul.
Setiap tahun angka rata-rata bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul mencapai 30 orang. Bahkan di tahun 2020, hingga (10/9/2020) kemarin, angka bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul telah mencapai 22 orang.
Mengatasi persoalan pertahanan hidup (penyintas) tidak sesederhana mengobati penderita penyakit fisik, hal itu perlu peran dari berbagai pihak dan dilaksanakan secara terpadu agar persoalan penyintas dapat diselesaikan secara komprehensif.
Seperti halnya yang lakukan oleh Andriyani Widyaningtyas, wanita asal Kabupaten Bantul ini aktif dalam Yayasan IMAJI. Yayasan yang diketahui sangat perduli dengan banyaknya kasus bunuh diri di wilayah Kabupaten Gunungkidul.
Andriyani berbagi cerita, bahwa di tahun 2014 dirinya sempat mengalami goncangan jiwa yang luar biasa hingga akhirnya jatuh sakit. Di situlah Andriyani katakan menjadi puncak berbagai tekanan batin yang dirasakannya. Hingga pada akhirnya ia harus dibawa ke rumah sakit dan harus menerima vonis sebagai penyintas Schizophrenia, atau gangguan jiwa taraf paling parah.
“Kalau orang bilang ya bisa dikatakan saya ini orang gila,” ujar Andriyani.
Andriyani ibu satu anak ini lebih jauh menambahkan, bahwa alasan ia mengalami gangguan jiwa lantaran sejak kecil Andriyani sudah banyak menghadapi problem, sehingga gangguan jiwa yang dialaminya bersifat gradual atau tidak langsung terjadi.
Mulai tahun 2014 itulah, dirinya mengalami banyak halusinasi. Banyak bisikan yang ia dengar, seperti bisikan bahwa orang di sekelilingnya telah berkonspirasi ingin membunuh dirinya. Hal itu membuat dirinya tidak berani bertemu dengan orang lain. Ketakutan akan terjadinya sesuatu membuat ia lebih khawatir dibanding perasaan lain.
“Awal-awal dulu saya paranoid sama suami sama orang-orang terdekat. Seolah mereka itu berkonspirasi ingin membunuh saya. Begitu terus nggak berani ketemu sama orang nggak berani keluar kamar,” cerita Andryani.
Puncaknya ketika ia merasa terancam akan dibunuh oleh suaminya dan mendapat bisikan mengajak anaknya pergi jauh dari rumah. Namun di tengah jalan, ia kembali mendapat bisikan untuk segera pulang ke rumah. Ia lantas meninggalkan anaknya di sebuah perempatan besar di kawasan Tamrin Jakarta.
Sesampai di rumah, ia kaget ketika suami bertanya tentang keberadaan anaknya. Ia pun lantas berteriak kalang kabut untuk kembali ke tempat di mana anaknya ia tinggal. Namun, ia merasa lega lantaran ada seorang tukang ojek yang mengantar anaknya sampai di depan rumah.
“Untungnya anak saya itu paham kalau ditanyai alamat rumah. Kalau tidak, ndak tahu nasibnya seperti apa sekarang anakku,” tambahnya.
Lebih lanjut, dijelaskan Andriyani, bahwa dirinya juga pernah mengalami syndrome baby blues, ketika ia tidak bersedia menyusui anaknya. Gejala halusinasi tersebut muncul sejak tahun 2004-2005. Ia pun diajak konsultasi ke psikiater oleh suami lantaran sudah merasakan keanehan-keanehan dari sang istri.
“Sejak saat itu, aku harus rutin meminum obat dari dokter, dan itupun tidak boleh bolong-bolong,” ungkapnya.
Bukan tanpa sebab, diungkapkan Andriyani, namun merupakan akumulasi permasalahan yang ia alami. Diantaranya seperti, di masa kecil ia pernah mendapat kekerasan seksual, menjadi obyek bullying dari teman-teman, bahkan ketika sudah berumah tangga saat melahirkan pun menjadi bahan gunjingan tetangga.
Namun kini, ia dapat melalui masa sulit. Selain minum obat secara rutin, ia juga aktif berkegiatan terutama mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membuka usaha ecoprint hingga menulis buku.
“Rutin melakukan olahraga dengan ikut aerobik dapat menstabilkan hormon kejiwaan saya,” pungkasnya. (Hery)