Stigma Negatif Masyarakat Gunungkidul Menjadi Salah Satu Alasan Korban Bunuh Diri

  • Whatsapp

GUNUNGKIDUL – Kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul masih sering terjadi. Seperti pada Kamis (10/09/2020), dua kasus gantung diri, terjadi di Kapanewon Saptosari dan Kapanewon Ponjong.

Menyikapi hal tersebut, Ketua Yayasan Inti Mata Jiwa (IMAJI) Joko Yanuwidiasta mengatakan, tidak hanya alasan depresi, stigma negatif masyarakat juga dapat menjadi pendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Muat Lebih

“Merujuk data yang dihimpun IMAJI periode 2015-2017, 43 persen resiko bunuh diri disebabkan oleh faktor depresi. Sisanya karena sakit fisik menahun 26 persen, tanpa sebab 16 persen, gangguan jiwa berat 6 persen, masalah ekonomi 5 persen, dan masalah keluarga 4 persen,” jelasnya.

Lebih lanjut, dijelaskan Joko, bahwa stigma negatif yang diberikan masyarakat pada orang yang mengalami depresi menyebabkan mereka enggan untuk melakukan pemulihan. Stigma negatif ditambah tekanan jiwa yang berlarut-larut membuat seseorang memilih bunuh diri sebagai jalan keluar.

“Rata-rata mereka yang mengalami depresi pun tidak mengerti bagaimana cara menangani secara tepat,” ungkapnya.

Sebagai yayasan yang berfokus pada masalah kesehatan jiwa, IMAJI berupaya melakukan pendampingan pada mereka yang mengalami depresi. Pendampingan juga dilakukan pada keluarga terkait, agar bisa mengakses layanan kesehatan yang tepat.

Ia menjelaskan, dalam pendampingan pihaknya hadir sebagai teman agar mereka yang depresi jadi lebih nyaman untuk mengungkapkan permasalahannya.

“Kami pun mendorong agar mereka tidak malu dengan kondisinya, tidak malu untuk datang ke psikiater. Sayangnya upaya ini tidak banyak dilakukan,” kata Joko.

Selain itu, Joko menambahkan, IMAJI menjadi salah satu lembaga yang mendorong lahirnya peraturan terkait penanganan kasus-kasus bunuh diri. Aturan tersebut terwujud dalam Peraturan Bupati Nomor 56/2018 tentang Penanggulangan Bunuh Diri.

Menurutnya, salah satu bagian dari Perbup adalah menghilangkan diskriminasi bagi para penderita gangguan jiwa atau depresi saat mendapatkan layanan publik lantaran saat ini diskriminasi masih terjadi.

“Tak hanya di layanan publik, diskriminasi juga masih terjadi di masyarakat. Padahal ini upaya menghapus stigma,” katanya.

Sementara itu, Psikiater RSUD Wonosari dr. Ida Rochmawati menyebut, masyarakat Gunungkidul masih mengaitkan kasus bunuh diri dengan hal spiritual. Salah satunya mitos Pulung Gantung. Meski demikian, Ida mengaku tidak bisa menyalahkan pandangan tersebut, sebab Pulung Gantung ini menjadi dalih dari keluarga korban kasus bunuh diri guna menghindari rasa malu dan stigma negatif lingkungan.

“Lebih baik mereka menuding si Pulung Gantung ini ketimbang mengakui aspek lain sebagai penyebab,” kata Ida.

Berkaitan dengan pelaksanaan Perbup Ida menyatakan, pihaknya tak memiliki wewenang dalam pelaksanaannya, karena hal itu jadi domain pemerintah daerah. Namun upaya implementasi Perbup hingga saat ini terus dilakukan.

Ida juga menegaskan perjuangan untuk meminimalisir kasus-kasus bunuh diri tetap dilakukan, dengan atau tanpa adanya Perbup tersebut.

“Tapi kami tetap apresiasi karena Gunungkidul satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki Perbup penanggulangan bunuh diri,” tutupnya. (Hery)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *