SAAT ini, Pamong Praja sebagai penyelenggaraan tata pemerintahan menghadapi tuntutan baik lokal, nasional maupun global di tengah hadirnya Hari Pamong Praja yang jatuh tepat hari ini. Terlebih saat wabah pandemi seperti ini, Pamong Praja perlu diapresiasi dikarenakan harus senantiasa menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, partisipatif dan responsif sebagai wujud anjuran (global) tentang Good Governance yang banyak diadopsi oleh berbagai kalangan.
Kerangka tata kelola tersebut ternyata dihadapkan pada dua soal sekaligus, Pertama, Bagaimana memastikan bahwa apa yang akan dijalankan oleh pemerintah (layanan birokrasi) tersebut benar–benar merupakan cerminan kehendak atau aspirasi dari masyarakat ? Kedua, Bagaimana birokrasi pemerintahan benar – benar dapat menangkap apa yang diinginkan oleh masyarakat dan menerjemahkannya dalam kebijakan–kebijakan yang berpijak pada rakyat, berpijak pada lingkungan dan berpijak pada masa depan. Setiap bentuk perbaikan layanan publik memiliki arah yang jelas yakni meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Untuk memastikan layanan birokrasi pemerintah yang berbasis aspirasi masyarakat perlu menumbuhkan partisipasi masyarakat. Usaha mendorong demokrasi lokal menjadi penting dan mendesak. Langkah nyata dapat dilakukan dengan mengembangkan regulasi yang memberikan perlindungan partisipasi masyarakat agar menjadi pemicu bagi upaya pemberdayaan, penguatan dan peningkatan kapasitas partisipasi masyarakat.
Sedangkan untuk membentuk birokrasi pemerintahan yang dapat mengakomodir aspirasi masyarakat dan diwujudkan dalam sebuah kebijakan ternyata membutuhkan sebuah transformasi birokrasi (pelayanan) publik. Hal ini sejalan dengan semangat desentralisasi. Adapun dua langkah sekaligus untuk melakukan tindakan transformasi yaitu Pertama, tindakan ke dalam, melalui upaya terus menerus dan sistematis dalam mengubah pamong aparatur menyangkut pola pikir, pola tindak dan pola sikap birokrasi. Mentalitas sebagai “tukang perintah” dan harus dilayani hendak digantikan dengan mentalitas “sosok atau figur yang peduli untuk membantu dan mengurus kepentingan dan masalah masyarakat” atau “pelayan masyarakat”.
Adapun langkah Kedua, tindakan ke masyarakat untuk secara terus menerus dan sistematis untuk meyakinkan rakyat bahwa birokrasi harusnya diperlakukan bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai pelayan masyarakat. Tentu saja upaya ini tidak dimaksudkan agar masyarakat ”melecehkan” birokrasi melainkan dapat memberi tempat dan menempatkan birokrasi pada posisi dan porsinya. Usaha tersebut membutuhkan waktu untuk mengubah kesadaran masyarakat yang sudah lama terbentuk.
Langkah transformatif perlu dilakukan untuk mengupayakan secara terus menerus dalam membangun mentalitas pamong praja sebagai figur yang melayani kepentingan masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan diantaranya melakukan pembaruan organisasi kelembagaan. Model kelembagaan yang dimaksud tentu saja mendorong bahkan mengantikan organisasi pemerintahan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pembaruan kelembagaan tentu akan diikuti oleh perubahan tugas pokok dan fungsi termasuk program–program yang hendak dikembangkan oleh pemerintah. Pembaruan organisasi pada dasarnya menjadi bagian dari pembaruan secara keseluruhan.
Perubahan kebijakan di tingkat nasional diharapkan tidak mengembalikan pada sistem atau model lama, melainkan untuk memperkuat prakarsa yang telah dikembangkan di masa reformasi-menjadi inovasi kinerja birokrasi pemerintahan hingga ditingkat lokal. Pamong Praja sebagai aparatur abdi negara menjadi garda depan dalam menunjang keberhasilan transformasi tata kelola pelayanan publik. Tatanan baru kehidupan khususnya dalam tata kelola birokrasi harus memberikan penghargaan dan penghormatan bagi aparatur pamong abdi negara yang telah mendedikasikan kinerja bagi layanan publik yang lebih baik dan transformatif.