Saya membuat analogi terhadap tema vertikal kuliah Ramadan, MH Ainun Nadjib.
Setiap manusia (pemimpin) hanya bertanggungjawab kepada Allah, tidak kepada lembaga negara seperti MPR. Manusia tidak berhak minta pertanggungjawaban atas perbuatan sesama manusia.
Perbedaan tafsir antara pulang kampung dan mudik, yang untuk beberapa waktu sempat menjadi silang pendapat, adalah merupakan tanggungjawab pribadi Presiden Joko Widodo.
Siapa pun Anda, tidak mimiliki hak meminta pertanggungjawaban atas kebenaran tafsir yang dilakukan Presiden.
Menurut Cak Nun, alasannya jelas, bahwa Anda tidak memiliki andil apa pun dalam penciptaan makhluk bernama Joko Widodo.
Memang betul, dia adalah Presiden Republik Idonesia, tetapi, Presiden Joko Widodo bukan milik Anda.
Dia adalah milik Allah, maka apa pun yang dia katakan dan kerjakan, akan dia pertanggungjawabkan di hadapan Allah, bukan di hadapan Anda.
Dalam hal mengatasi pandemi Covid-19 Presiden Joko Widodo bebas mengajukan proposal skala dunia.
Dia mempunyai hak meminta tolong kepada siapa pun, termasuk meminta bantuan fentilator kepada Presiden Amerika Donal Trump.
Rumah Sakit di Indonesia untuk beberapa bulan ke depan diduga akan banyak dihuni warga yang sesak nafas adalah tafsiran yang sah. Oleh sebab itu fasilitas fentilator dianggap sebagai kebutuhan yang sangat mendesak, adalah benar menurutnya.
Silang pendapat itu warisan manusia terdahulu, warisan jahiliah, yang sepatutnya tidak dilanjutkan.
Pada situasi serba sulit, bersikap rendah hati di depan Allah, itu lebih utama. Berhenti menilai orang adalah kesadaran tertinggi untuk meraih petunjuk.
Sebab itu pilihan saya adalah meminta ilmu untuk bisa menolong katak yang berada di mulut ular sawah, seperti yang pernah dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Perahu bangsa ini mau dibawa ke mana, itu tanggungjawab sang nakoda.
Saya bertanggungjawab pada biduk kecil, yang sama-sama dihantam gelombang.
Bambang Wahyu Widayadi
Putat 25-4-20