“SABUN” PENUMPANG GELAP DI TENGAH PANDEMI CORONA 

  • Whatsapp
Istimewa

KETIKA manusia merasa hebat dan besar, maka di situlah dia sesungguhnya mulai lemah dan kerdil. Pada tahun berangka kembar 2020, di Indonesia sedang berlangsung gerakan cuci otak dengan “sabun” skala besar-besaran.

Sungai terkotor di DKI Jakarta adalah Ciliwung, dan sungai paling berbau di Yogjakarta adalah Kali Mambu.

Muat Lebih

Saya harus memulai dari tamsil air pada dua sungai itu, supaya orang sadar adanya gerakan cuci otak terselubung.

Siapa yang membersihkan air kedua sungai itu setelah melaju sampai ke laut lepas?

Tentu bukan Pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Bukan Menteri dan bukan pula Presiden.

Lalu siapa dia? Angin. Anginlah yang menghampirinya di laut sana, kemudian mengangkatnya ke gunung dengan tangga, yang akhirnya sampai ke langit.

Mendung menjatuhkan butiran salju kembali menjadi air yang bersih atas kendali kekuasaan dan perintah-Nya.

Dari Ciliwung dan Kali Mambu, melalui penyulingan yang menakjubkan, air yang dikotori tangan manusia,  dikembalikan ke Jakarta dan Yogyakarta dalam kondisi putih bersih, murni dan steril.

Sampai di rumah warga, air masuk ke dalam tempayan plastik yang dilengkapi kran, untuk dimanfaatkan sebagai media cuci tangan.

Tokoh yang merasa dirinya besar menyarankan, kalau cuci tangan harus pakai sabun. Di sinilah kekerdilan cara berfikir manusia itu sedang dimulai, juga gerakan cuci otak secara terselubung sedang berlangsung.

Air bersih itu dianggap tidak mampu menghanyutkan virus. Jangankan Covid-19, pohon, jembatan, rumah, juga mobil pun dengan ijin dan kekuatan-Nya, akan diseret ke mana pun, jika air itu mau.

Saya tidak habis pikir, banyak tokoh yang terkontaminasi rayuan gombal pabrik sabun.

Cuci tangan pakai sabun itu tidak lain adalah iklan gratis, penumpang gelap sekaligus cuci otak di  tengah ketakutan dan stres massal.

Kalau tanaman yang dibonsai, boleh jadi melahirkan kecantikan yang menyenangkan, meski dengan cara harus memperkosa dahan dan ranting.

Hari ini otak manusialah yang sedang dipersekusi, dikerdilkan, supaya tidak meyakini, kalau air bersih ciptaan Sang Khaliq itu memiliki kekuatan dahsyat mampu menghanyutkan Corona.

Di tengah kegalauan nasional, gencar dilakukan upaya menghilangkan Rasa dan Jiwa Ketuhanan.

Contoh  lain, di berbagi tempat terjadi penolakan terhadap penguburan jenazah. Ini pertanda  masyarakat telah tercuci pikirannya, sehingga mereka berputar pandangan.

Jenazah perantau tidak boleh dikubur di kampung halamannya sendiri. Boleh dikubur, tetapi tidak perlu mampir ke rumah duka. Rasa Kemanusiaan, Rasa Keadilan, dalam hal ini mulai terdongkel.

Kemudian Rasa Persatuan pun hilang. Tidak banyak tetangga yang  mau bergantian menggotong peti jenazah. Pun pula kebiasaan permusyawaratan ikut luntur. Hampir tak ada tokoh yang berani  mempelopori rembuk warga.

Sedikit sekali tetangga yang solider duduk bersama saat belangsung peringatan menigahari, menujuhhari dan yang lain.

Lengkap sudah cuci otak itu berhasil menyingkirkan Lima Rasa yang ada di hati setiap Manusia Indonesia. Ini ancaman yang serius, tetapi tidak ada yang mencoba menghalanginya.

Bambang Wahyu Widayadi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *