Banyak pejabat yang ngaku virus corona nyaris tidak ada di Indonesia, tapi ketika index (5300) dan rupiah anjlok (Rp 14.262) para pejabat semua bilang akibat corona, padahal tanpa corona pun, ekonomi Indonesia semakin nyungsep karena salah-kelola. Benar-benar ilmu pengibulan sudah tingkat Dewa.
Analis-analis pasar modal dan ekonom-ekonom konvensional ndak bisa ramalkan apa yang terjadi hari-hari ini 6-12 bulan yang lalu.
Mereka hanya bisa melakukan extrapolasi trend, tidak bisa memperkirakan akan ada ‘struktural break’. Itu terjadi 1996-1997, terulang kembali 2019-2020.
Maaf, media mainstream lebih banyak memuat penjelasan pejabat-pejabat yang rajin melakukan ‘self-denial’.
Hari ini fatamorgana itu diperbesar oleh ‘influencer-influencer” dan buzzer-buzzer bayaran. Akibatnya beban krisis akan lebih besar untuk bangsa dan rakyat, karena rakyat dan bisnis terlena degan fatamorgana itu, tidak bersiap-siap melakukan tindakan preventif kok ndak pernah belajar dari sejarah?
Oktober 1996, saya, via ‘Econit Economic Outlook’ meramalkan ekonomi Indonesia akan mengalami krisis akhir 1997 dan 1998. Semuanya terjadi. Pertengahan 2018, saya katakan ekonomi masuki zone lampu kuning, kalau tidak hati-hati, bisa masuk lampu merah akhir 2019-2020.
Pak Jokowi, peringatan-peringatan itu adalah “Early Warning Sytem”, sumbangan pikir saya agar RI tidak mengalami krisis kedua.
Biasanya di setiap peringatan-peringtan itu ada alternatif solusi. Jika diikuti 5 bubbles (gelembung2) itu: makro, gagal-bayar, daya beli, digital dan pendapatan petani bisa dikecilkan, sehingga krisis bisa dihindari. Tapi karena sikap tertutup dan jumawa, mungkin krisis itu sulit dihindarkan.
(DR. Rizal Ramli)
28 Februari 2020